Tuesday, May 13, 2008

Qui Bene Cantat Bis Orat


”Tulisan ini lahir dari refleksi musical saya atas Tradisi latihan kor / latihan nyanyi di SMAK St. Ignatius Loyola / Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo periode 1991-1994).

Pengalaman itu masih membekas dan menjadi modal dalam meniti karir sebagai pendidik di Metropolitan Jakarta.”


Lonceng tanda waktu dimulainya latihan nyanyi sudah dibunyikan. Tiap-tiap orang meninggalkan kelas, kamar tidur ataupun beranda dibawa pohon Bidara untuk bergegas menuju Kapela, tempat berlangsungnya kegiatan latihan nyanyi mingguan yang terjadi pada setiap hari Rabu sore dan Sabtu Sore. Pada dua hari ini, khususnya pada hari Sabtu sore para siswa diajak untuk berlatih, menyanyikan lagu-lagu yang akan digunakan dalam kebaktian hari Minggu keesokan harinya.


Kegiatan ini memang dianggap kegiatan rutin para siswa; namun bukan hanya rutinitas biasa akan tetapi rutinitas yang menimbulkan efek musikal bagi bara siswa dalam bermusik. Seperti itulah yang dirasakan oleh Penulis saat ini ketika memori latihan nyanyi mingguan itu di flasback lagi. Sebuah pengalaman yang unik, menarik dan membekas.


Pengalaman musikal yang didapat belasan Tahun lalu itu menjadi modal penulis dalam meniti karir sebagai pendidik (Guru)di Salah satu Sekolah Katolik di Jakarta Selatan. Penulis sendiri bukan jebolan sekolah musik, tetapi bisa mengampuh pelajaran Seni Musik. Kadang siswaku bertanya Bapak tamatan sekolah musik Mana? ISJ, ISI atau sekolah musik mana?

Aku hanya tersenyum dan berkata. Aku belajar musik saat SMA. Di perguruan tinggi aku belajar sendiri. Aku tak punya ijaza musik, tapi bisa bermusik. Sesuatu yang aneh dan langka bagi kalangan siswa di Ibukota seperti Jakarta.


Kalau di Jakarta, Orang bermusik atau bisa bermusik karena mereka belajar khusus musik, kursus musik, kursus vokal. Di sekolah mereka hanya mendengarkan sedikit materi dan trik dalam bermusik; sedangkan selanjutnya mereka belajar di tempat-tempat kursus. Salah satu hal yang membanggakan saya hingga kini adalah kemampuan kita dalam bermusik, khususnya feeling musik.


Pada umumnya, rata-rata orang Indonesia Timur mempunyai feeling musik yang cukup tinggi. Kita bisa mempelajari lagu atau akord musik dari hanya mendengarkan lagunya dan dengan sendirinya yang bisa bermain Guitar dapat mengiringinya. Sesuatu hal yang mencengangkan orang, semisal anak-anak Jakarta.

Mereka bisa mengiringi sebuah lagu kalau ada teks musiknya. Itulah sebuah pengalaman yang amat berharga dari pengalaman berlatih bernyanyi di SMAK / Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo.


Sedikit memori masa lalu. Ketika saya mengenyam pendidikan di Seminari / SMAK St. Ignatius Loyola tahun 1991-1994 ada waktu khusus sepanjang minggu dimana kami berlatih bernyanyi / bermusik. Walaupun bukan musik Klasik, akan tetapi hal itu masih membekas dalam diri saya.


Setidaknya saya mengerti dan memahami musik, khususnya membaca notasi musik (Not angka) dengan baik dan benar. Suatu hal yang sulit diperoleh dan di dapat oleh siswa seumur saya di sekolah lain di Labuan Bajo. Latihan bermusik kala itu tidak hanya sebatas menyanyikan / berlatih lagu-lagu gereja untuk keperluan liturgis tetapi juga lagu-lagu POP untuk Band yang kebetulan kala itu saya adalah salah seorang personilnya.

Pokoknya SMAK dikenal masyarakat dengan Paduan Suaranya, dengan Bandnya, dengan Marcing Bandnya. Pengaruh musik gereja begitu besar sehingga siapapun yang mengenyam pendidikan di SMAK St. Ignatius Loyola pasti bisa membaca not/menyanyikan not serta membidik not.


Musik adalah harmoni.


Musik dan harmoni adalah dua hal yang saling bersinggungan. Dalam musik dibutuhkan harmoni atau keteraturan. Musik butuh disiplin. Disiplin dalam berlatih dan berolah vokal. Harmoni dalam musik dapat diejawantahkan dalam pergaulan. Sebagai mahkluk sosial manusia butuh sesama dalam hidupnya. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia negara yang kita cintai ini, betapa harmoni dan keteraturan itu sangat dibutuhkan.


Ada pepatah India kuno mengatakan, Harmoni dalam hidup itu diumpakan dengan senar Guitar atau tuts piano. Tiap-tiap senar atau tuts itu memiliki tone atau nada-nada yang berbeda. Akan tetapi kalau dipadukan dan dibunyikan secara bersama-sama akan menghasilkan suatu bunyi yang harmonis.


Analogi harmoni dalam kehidupan dengan musik ini tentu bermanfaat bagi hidup kita. Dalam budaya bhineka tunggal ika, bangsa kita mengakui keberagaman itu sebagai kekayaan bangsa yang tiada taranya. Pengalaman musikal yang diperoleh di SMAK St. Ignatius Loyola dan Seminari Yohanes Paulus II Labauan Bajo mengajarkan saya akan pentingnya keteraturan dalam hidup seumpama keteraturan atau harmoni dalam musik.


Patut disadari bahwa musik tidak saja berfungsi sebagai penghibur masyarakat; akan tetapi musik juga menunjukkan identitas suatu masyarakat. Musik menjadi spirit, musik sebagai sarana komunikasi dan pemersatu masyarakat selain bahasa. Selain itu musik juga menjadi sarana perdamaian.


Berbicara tentang musik dan masyarakat menghantar kita pada pencarian akan makna musik bagi masyarakat. Jelas bahwa musik adalah sarana hiburan bagi manusia; apapun jenis dan karakter musiknya. Entah itu musik pop, musik daerah, musik klasik dan bahkan musik kontemporer.

Musik Gereja versus Musik POP


Patut disadari pula bahwa berbicara tentang perkembangan musik zaman sekarang tidak terlepas dari musik zaman dahulu. Tak dapat disangkal bahwa musik pada tempat pertama dalam sejarah perkembanganya tidak lari jauh dari budaya atau kultur Gereja. Karena itu banyak musikus besar, Seperti Beehoven, Handel dan Vivaldi justru lahir dari Eropa yang nota bene kuat akan pengaruh Gereja.


Lagu-lagu gereja gubahan musikus besar seperti Lagu-lagu Gregorian dan lagu-lagu ordinarium Misale Romawi adalah contoh dari betapa musik Greja menjadi basis perkembangan musik sepanjang masa.


Maka bersyukur dan berterima kasihlah kalau pada saat SMA, kita mendapat kesempatan untuk berlatih dan menyanyikan lagu-lagu gereja dan memiliki waktu khusus untuk itu. Itulah hebatnya SMAK St. Ignatius Loyola / Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Tapi Entahkah hal ini masih tetap di teruskan hingga kini?


Kalau masih dijalankan syukur; akan tetapi jika tidak, paling tidak tulisan ini menjadi sebuah memori yang patut untuk didengungkan kembali untuk dimaknai lagi secara baru.Ketika dunia pendidikan kita berada pada tapal batas perubahan, mungkinkah kita bisa menghadirkan kembali memori kejayaan masa lalu?


Aku Masih ingat, Tat kala Gereja Katolik Manggarai merayakan Pesta Yubelium Agung 80 Tahun hadir di Manggarai tahun 1992 atau tahun 1993 Paduan Suara gabungan Antara SMAK St. Ignatius , SMA Negeri Komodo dan Umat Paroki Roh Kudus Labuan Bajo, Instrumen pengiring Paduan Suara itu adalah Anak-anak SMAK St. Ignatius Loyola dan Anak-anak Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Waktu itu, Filosofi dua tapi satu, satu tapi dua sungguh melekat erat di dalam sanubari siswa-siswinya.


Pada kesempatan ini juga kita patut mengancungkan jempol kepada Musikus kawakan SMAK St. Ignatius Loyola dan Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo, P. Patris Meko, SVD. Dari tangan dialah, musikus-musikus baru lahir dari Labuan Bajo melalui usaha dan kerja kerasnya menanamkan jiwa musikal dalam diri peserta didiknya melalui Latihan Nyanyi Greja di Kapel Arnoldus Labuan Bajo. Terima kasih Pater Patris........... Semangatmu membangkitkan gelora musikal dalam diri saya.


Gereja dan Musik Klasik


Ketika mengenayam pendidikan di Seminari Yohanes paulus II Labuan Bajo, aku tidak terlalu ”in” dengan musik Klasik. Maklum Mendengar musik Klasik saja aku jarang. Aku Hanya tahu dan mendegar kata ”Musik Klasik” dari buku-buku ensiklopedia musik dan buku-buku musik yang ada diperpustakaan dan juga dari koleksi Pater Patris.


Walaupun demikian, Bukan berarti khasana musik Klasik tidak serta merta tercerabut dari konteks pendidikan di SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo. Kenapa saya katakan demikian, karena melalui lagu-lagu gereja terbersit aroma klasik didalamnya.


Kalau sekarang orang semakin gencar memburu musik klasik karena membawa efek perubahan psikologis bagi perkembangan anak; maka kini aku dengan bangga mengatakan bahwa bukan hanya musik klasik saja yang membawa pengaruh besar dalam kehidupan manusia zaman ini; akan tetapi musik gereja punmembawa pengaruh besar dalam hidup manusia.


Karenanya, jangan sis-siakan kesempatan untuk berlatih dan menyanyikan lagu-lagu gereja apalagi lagu-lagu Gregorian dan lagu-lagu latin. Karena musik yang sesungguhnya ada di sana. Akhirnya,” Bach Gave us God,s word’s, Beethoven gave us God’s fire, Mozart gave us God’s Laughter, God Gave us Music so that we may pray without word.” Sungguh kata-kata sang bijak ini memberikan spirit dalam memaknai hidup. Musik dapat mengisi kekosongan sisi ruang batin seseorang dalam hidup. Selamat bermusik...!!


*
Romoaldus Kahardi,S. Fil. Alumni angkatan ke-5 Seminari Yohanes paulus II Labuan Bajo, menyelesaikan pendidikan tinggi di STFK St. Paulus Ledalero, kini menjadi staf pengajar di Charitas Senior High School Jakarta.

1 comments:

Ferdynand March 30, 2009 at 10:58 AM  

kae, sy juga tamatan SMAK IGNOLA labuan bajo,saya lulus tahun 2004. sy jg sempat mencicipi pendidikan di semyopal selama 3 tahun,,cuma tahun terakhir sy memutuskan untuk keluar, daripada biara rugi banyak..(mengerti kan maksud saya..?)

dan benar menurut kae, sy benar2 bersyukur bisa sempat mengalami "masa-masa indah itu"..hehe.. bgmn tidak , hampir setiap minggu pasti ada latihan koor nya.. walaupun kita ini buta not, tapi dibawa enjoy saja... P.patris memang TOP.. sukses buat kae.. GBU>>

About This Blog

  © Blogger template 'Blissful View' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP